Pengembangan Social Capital dalam Organisasi

Oleh: Eko Handoko Hasian, SE.

Revolusi 4.0 mewakili generasi keempat dari perkembangan perubahan struktur sosial yang radikal.dari Revolusi Industri berbasis uap (RI-1), elektrik (RI-2), Computerized and automation (RI-3) hingga cyber physical system (RI-4). Revolusi 4.0 ini adalah peralihan dari revolusi computerized menuju era digitalisasi. Fenomena yang timbul pada era revolusi 4.0 ini ditandai dengan munculnya disruptive innovation di segala lini kehidupan. Bukan hanya sektor bisnis tetapi juga di lembaga-lembaga pendidikan.

Disruptive innovation atau inovasi yang disruptif adalah suatu kondisi yang terjadi ketika perkembangan teknologi yang berbasis digital ini berpotensi merubah strruktur sosial secara radikal sebagai efek yang tidak bisa dihindari dalam bisnis. Hal ini sudah terjadi seperti perubahan moda transportasi (Gojek, Grab, Uber) atau juga gerai-gerai retail besar seperti Hero supermarket, 7 eleven, Matahari dept store, dll yang terpaksa melakukan perampingan usaha atau malah menutup sebagian cabangnya karena moda belanja online semakin banyak diminati konsumen zaman now.

Lembaga pendidikan disruptive innovation bisa terjadi seperti halnya sektor bisnis. Sistem digitalisasi secara serentak menciptakan pola perilaku konsumen yang sama: serba instan, efisiensi, dan low cost. Kemunculan istilah Massive Open Online Course (MOOC) sejak 2008 adalah sebuah contoh bagaimana sistem pendidikan bekerja di ranah digitalisasi.

Ada beberapa modal (capital yang dimiliki individu diantaranya adalah financial capital, human capital, dan physical capital, dimana modal penting lainnya yaitu social capital.

Lembaga Pendidikan selama ini meningkatkan human capital individu sehingga memiliki keahlian di bidang ilmunya masing-masing akan tetapi disruptive innovation pada era digitalisasi juga akan memudahkan para siswa untuk meningkatkan pengetahuan dan ilmunya melalui teknologi digital. Namun ada satu hal yang mungkin belum bisa diakomodir sepenuhnya oleh sistem digitalisasi yaitu social capital, karena social capital diperoleh melalui hubungan antar manusia.

Istilah social capital diangkat oleh Robert Putnam dalam bukunya Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community, pada tahun 2000. Penulisan buku tersebut dilatari keprihatinan penulis terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat Amerika yang ekonominya semakin meningkat, namun di sisi lain dorongan untuk bersosialisasi, mengembangkan relasi, atau pun terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial menjadi semakin berkurang. Masyarakat Amerika dinilai cenderung beralih ke aktivitas soliter dan enggan dengan aktivitas kelompok. Menurut Putnam, fenomena tersebut menyebabkan social capital masyarakat Amerika semakin rendah.

Dalam konteks organisasi, social capital adalah suatu sumber daya atau kemampuan, aktual maupun virtual, yang dipunyai seseorang atau sekelompok orang melalui kepemilikan jaringan, baik secara kelembagaan maupun pribadi-pribadi, dan diakui secara timbal balik.

Para ahli sepakat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi social capital adalah rasa saling percaya, resiprositas atau rasa timbal balik, kewajiban, harapan, rasa kebersamaan, dan kepedulian terhadap orang lain. Selain itu juga, adanya nilai-nilai, norma, perilaku, keyakinan, serta motivasi untuk saling berkolaborasi. Mengacu pada pernyataan para ahli tersebut, sebenarnya secara sederhana dapat disimpulkan bahwa social capital pada level organisasi adalah perwujudan dari dimilikinya soft competency oleh para anggota organisasi.

Berdasarkan sejumlah penelitian, ditemukan bahwa rasa saling percaya merupakan hal paling mendasar bagi pembentukan social capital organisasi. Kepercayaan membuat orang mau berkomunikasi, berkelompok dan membagi apa yang dimilikinya. Ketika hal tersebut tumbuh subur di sebuah organisasi, maka internal organisasi akan memiliki soliditas dan secara eksternal akan memiliki jaringan relasi yang luas dan kuat. Di sinilah social capital menjadi sebuah kekuatan yang digunakan untuk mencapai tujuan kelompok yang bersangkutan.

Kilpatrick menyarankan lima tahapan berikut ini untuk membantu organisasi dalam melakukan pengembangan social capital individu organisasi:


1. Self Confident Development

Pada tahap ini, organisasi menumbuhkan keyakinan pada anggotanya terhadap keunggulan dan kebaikan yang dimiliki organisasi. Pemahaman ini harus dimiliki secara bersama-sama dengan anggota lainnya. Keyakinan ini akan membantu anggota saat harus meyakinkan orang lain tentang kebaikan organisasi.

2. Good observer and informan collector
Tahap selanjutnya adalah melatih anggota agar menjadi seorang pengamat dan pengumpul informasi yang baik. Informasi yang terkumpul akan menjadi bekal bagi anggota untuk mengenal lebih dalam pihak-pihak yang dituju untuk memudahkan dalam membangun relasi.

3. Knowledge management and approach strategy                                                                                         

Pengembangan selanjutnya adalah pengelolaan informasi dengan menggunakan database sehingga tidak kesulitan saat mengakses.

4. Trustworthy network development
Selanjutnya adalah melatih anggota agar mampu menggunakan jaringan yang dimiliki untuk mencapai kebutuhan organisasi. Pada tahap ini, anggota dilatih menjadi seorang lobbyist dan negosiator untuk membantunya dalam berperan sebagai perekat jaringan relasi tersebut.

5. Social capital management
Pada tahap terakhir,anggota dilatih untuk mengelola beragam jaringan yang dimiliki agar dapat berkelanjutan dan mau memberikan bantuan di situasi mendesak. Social capital memang bukan obat mujarab yang mampu menyelesaikan semua persoalan di saat krisis, namun dengan memiliki social capital, sebuah organisasi dapat mengakses berbagai pintu masuk menuju solusi atas dasar kepercayaan.

Social capital ini adalah sebuah kekuatan organisasi yang memberikan manfaat langsung kepada para anggotanya. Semoga tulisan ini dapat memberikan pencerahan kepada kita untuk aktif dan lebih peduli dengan himpunan ataupun organisasi lingkungan kita demi peningkatan social capital bagi kita semua.

Penulis adalah ketua umum Himapasca Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, praktisi pertanian, pengurus dewan pimpinan nasional HKTI bidang perdagangan komite ekspor impor.

Leave a Reply